TEMPO.CO, Jakarta - Penelitian yang dipublikasikan di Rheumatology menunjukkan lebih dari 50 persen penderita penyakit autoimun juga mengalami depresi dan gangguan kecemasan. Dilansir dari Health, sekitar 13 persen perempuan dan 7 persen laki-laki mengalami gangguan autoimun dan hasil penelitian menunjukkan lebih dari separuh penderita jarang atau tidak pernah menyampaikan gangguan mental yang dialami ke penyedia layanan kesehatan."Rentang dan prevalensi gejala neurologis dan psikiatris ini lebih tinggi dari yang sebelumnya ditemukan dan jauh lebih tinggi dari perkiraan klinis," kata Melanie Sloan, peneliti utama studi tersebut dari Departemen Kesehatan Masyarakat dan Pelayanan Kesehatan Primer Universitas Cambridge. "Bagi pasien, bagian pentingnya adalah mereka tidak sendirian jika merasakan jenis gejala ini dan hanya dengan memberi tahu dokter mereka bisa mendapatkan dukungan." Baca Juga: Bedakan Bipolar Disorder dan Kepribadian Ganda Untuk lebih memahami korelasi kelainan autoimun dengan kondisi kesehatan mental, para peneliti melakukan survei pada hampir 1.900 orang dengan gangguan autoimun dan menanyakan gejala neurologis dan psikiatris mereka. Para peneliti juga melakukan survei pada hampir 300 penyedia layanan kesehatan. Sloan dan timnya menemukan di antara peserta survei, 55 persen di antaranya mengalami depresi, 57 persen mengalami kecemasan, 89 persen mengalami kelelahan parah, dan 70 persen mengalami disfungsi kognitif seperti masalah memori. Para peneliti mencatat penderita penyakit autoimun kecil kemungkinannya menyampaikan masalah kesehatan mental mereka atau meminta bantuan. Sebagian besar memilih diam karena takut menghadapi stigmatisasi."Banyak orang, bahkan tanpa penyakit rematik ini, ketakutan stigma gejala kesehatan mental karena mereka akan dihakimi," ujar Sloan. Baca Juga: 30 Maret Hari Bipolar Sedunia, Kenali Tipe dan Gejala Gangguannya Pengaruh otakDia menjelaskan lamanya waktu mendiagnosis penyakit autoimun membuat banyak pasien kehilangan kepercayaan pada penyedia layanan kesehatan dan dalam beberapa kasus menginterpretasi sendiri gejala mereka."Mereka takut jika melaporkan gejala kesehatan mental atau neurologis dapat menyebabkan kembali ke hari-hari pradiagnosis dan gejala penyakit masa depan akan diabaikan sebagai akibat dari kesehatan mental," papar Sloan.Iklan googletag.cmd.push(function() { googletag.display('div-gpt-ad-parallax'); }); Scroll Untuk Melanjutkan Hambatan lain adalah gejala kesehatan mental tidak selalu terlihat atau bisa diuji. "Kami menemukan beberapa klinisi, terutama psikiater dan perawat, sangat menghargai laporan pasien. Tetapi beberapa penyedia layanan lain merasa lebih nyaman ketika melakukan tes darah atau hasil pemindaian atau bisa melihat sendiri gejala. Mereka menginginkan bukti objektif," jelasnya.Namun, identifikasi kondisi kesehatan mental lebih bergantung pada mendengarkan dan mempercayai laporan seseorang. "Kebanyakan orang sangat ingin mendapat bantuan untuk memiliki kehidupan yang lebih baik dan butuh dokter untuk memvalidasi gejala-gejala yang menyedihkan ini," tambah Sloan. "Bukan bekerja dengan model harus bisa dilihat agar dipercaya."Brent Nelson, psikiater dan kepala informasi medis di PrairieCare, menyampaikan kaitan penyakit autoimun dan kesehatan mental kompleks dan belum sepenuhnya dipahami. Koneksi ini disebabkan permainan kompleks antara sel-sel sistem kekebalan tubuh dan sel-sel otak. Nelson menjelaskan penyakit autoimun menyebabkan sel-sel kekebalan tubuh menyerang dirinya sendiri dan mempengaruhi sel tubuh maupun otak."Beberapa faktor berkontribusi pada koneksi ini, termasuk peradangan dan komunikasi sistem imun otak," tuturnya. "Peradangan ini dapat menyebar ke otak dan dapat mempengaruhi neurotransmiter yang mengatur suasana hati, menyebabkan peningkatan risiko gangguan suasana hati." Pilihan Editor: Rheumatoid Arthritis Tak Bisa Disembuhkan, karena Keturunan?